Akhirnya pecah telor juga, alias inilah pertama kalinya saya dan suami road trip ke negara yang berada selain di belahan benua Eropa (dan Indonesia tentunya). Sebenarnya road trip ini adalah sebuah ketidaksengajaan, lebih tepatnya pembajakan waktu "me time" saya saat akan pergi bersama teman-teman untuk menyaksikan konser salah satu band hits dunia yang manggung di Bangkok. Rencana awal saya hanya akan pergi untuk satu malam dan memberi kesempatan anak-anak untuk punya waktu bonding bersama bapaknya. Tapi ternyata diujung rencana, suami berhasil mengeluarkan jurus rayuan untuk ikut serta bersama si kakak (4 tahun) dan si adik (hampir 1 tahun) pergi dalam sebuah road trip ke Thailand.
Saya sempat ragu, karena ingatan yang melekat saat kunjungan saya 10 tahun yang lalu tak meninggalkan kesan yang istimewa tentang Bangkok ketika itu. Memang bandara dan mall-mallnya megah, belanja dan makanan murah, ada BTS yang nyaman digunakan, hiburan malam yang membuat penasaran. Namun hanya itu...selebihnya saya ragu apakah cukup bijak mengajak anak-anak dalam road trip dengan total perjalanan sejauh 2.200 km di negara yang ibukotanya saja tak membuat saya ingin kembali lagi selain karena ada rencana untuk menonton konser.
Saat adik tidur siang di Wat Phra That Doi Suthep, Chiang Mai |
Hehehe...nyebelin ya, tapi itulah pengakuan saya yang susah move on dari pengalaman-pengalaman road trip di Eropa. Buat saya Thailand itu hampir serupa Indonesia yang membuat potensi chaos saat traveling terasa lebih nyata ketimbang saat pergi ke negara-negara di Eropa. Padahal saat babymoon terakhir, saya bersama suami membawa si kakak dan adiknya dalam kandungan untuk singgah ke Turkey, Balkan dan Greece yang saat itu sedang menjadi jalur dan tempat pengungsian bagi warga Syria dan cukup sering diberitakan dalam kondisi tidak aman.
Apartemen dengan kitchen set menjadi pilihan utama untuk menginap |
Ada seorang blogger Indonesia yang bercerita bahwa akhirnya ia kerap kali memberikan telur rebus kepada anaknya karena itulah satu-satunya makanan yang dapat dimakan oleh anaknya. Mudah-mudahan itu tidak menjadi pengalaman saya juga, makanya saya lebih memilih untuk membawa perlengkapan masak agar road trip dapat dilakukan dengan nyaman untuk semua. Semua menu lengkap untuk si adik yang belum genap satu tahun mulai dari bubur kacang ijo, sayuran, lauk, nasi lembek dan snack selalu siap sedia dalam perjalanan.
|
Persiapan yang demikian membuat saya justru lebih bebas dari rasa stress ketimbang tidak ada persiapan bekal lalu tiba-tiba di perjalanan anak tidak bisa makan. Tapi saya tidak seketat itu kok, walau sudah membawa bekal anak-anak tetap boleh mencicipi makanan lokal. Malahan untuk si adik saya menemukan menu baru sebagai makanan favorit yang disediakan hampir di setiap tempat makan lokal yaitu nasi rebus (boiled rice), nasi lembek dengan kuah kaldu dan daging (pilihannya ayam, ikan atau babi, sesuai preferensi masing-masing).
Makanan lokal |
Ternyata Thailand sungguh di luar dugaan dan justru menjadi salah satu destinasi paling ramah anak-anak yang menjadi rekomendasi saya. Memang sarana dan prasarananya tidak semaju Singapore, namun kesadaran masyarakatnya akan kebersihan layak diacungi jempol termasuk soal larangan merokok yang sangat ketat dan dipatuhi dimana-mana. Jadi sangat nyaman membawa anak-anak sekalipun untuk makan di kedai-kedai lokal atau bahkan jajan di pinggir jalan sekalipun. Plus fasilitas toilet umumnya yang juga bersih, jadi tidak khawatir saat sewaktu-waktu berhenti termasuk di rest area untuk ke toilet. Saat road trip usai, rasanya saya bersama keluarga tak sabar ingin kembali lagi ke sana untuk mencoba jalur-jalur road trip lainnya...
1 comments
mom mau tnya, itu nasi rebusnya memang byk yg jual d sana? kl untuk bayi 8 bln kira2 bisa kah? atau ada saran?
ReplyDeletetq,