Jakarta dari balik bukit |
Setelah kurang lebih tiga jam perjalanan dari Jakarta akhirnya saya, suami dan anak-anak sampai di tempat tujuan. Akses jalanan yang berliku melewati bukit berbatu membuat perjalanan cukup memakan waktu. Untungnya anak-anak sudah cukup terbiasa dengan kondisi seperti ini, selama perjalanan mereka tertidur pulas di car seat masing-masing walau guncangan mobil cukup terasa. Kali ini perjalanan keluarga kami dilakukan bersama dua keluarga lain yang juga memiliki anak-anak seumuran. Sebenarnya adanya tim tambahan ini yang membuat perjalanan lebih menantang, suami saya sempat harus turun untuk membantu manuver mobil teman kami saat berada di tanjakan dengan belokan yang cukup ekstrim. Kondisi cuaca yang sering hujan membuat beberapa jalanan yang dilalui pun sedikit berlumpur dan licin. Namun secara keseluruhan perjalanan tidak menemui halangan yang sulit dan cukup lancar.
Ketika sampai kami sudah ditunggu dan disambut hangat oleh pasangan suami istri pemilik rumah tempat kami menginap. Rumah tersebut terbuat dari kombinasi beton dan kayu yang bergaya ala Manado. Halaman rumah cukup luas, terawat dan ditumbuhi bunga berwarna-warni sehingga membuat suasana menjadi asri. Rombongan kami yang terdiri dari tiga keluarga (tujuh orang dewasa dan lima anak-anak) menggunakan lantai atas yang dilengkapi dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, ruang makan, ruang keluarga dan dua teras. Udara di sana cukup dingin terutama menjelang dini hari (berkisar antara 18-24°C sehari-harinya menurut pemilik rumah). Setelah makan malam kami semua segera beristirahat, nampaknya kombinasi gulai, sate kambing dan udara dingin membuat kami cepat tertidur pulas.
Walau tidak tidur terlalu lama, udara yang bersih membuat tidur lebih berkualitas dan bangun pagi terasa segar. Sayangnya matahari terbit lebih cepat dari jam saya bangun (baca: saya kesiangan 😆), segera setelah menyusui si kecil saya bergegas ke teras untuk melihat pemandangan bukit-bukit sejauh mata memandang. Sekilas nampak susunan gedung-gedung bertingkat muncul dicelah bukit yang berkabut. Tadinya saya pikir saya salah lihat, tapi suami dan teman pun juga melihat hal yang sama. Tak lama pemilik rumah naik ke teras dan menjelaskan bahwa apa yang kami lihat itu benar. Beliau berkata bahwa kami beruntung karena biasanya celah itu terhalang kabut, beberapa orang yang sudah bolak-balik menginap di situ tidak pernah berhasil melihat pemandangan gedung-gedung yang tidak lain adalah Jakarta.
Sangat ingin rasanya kami membagi langsung pemandangan itu melalui media sosial. Namun apa daya, jangankan sinyal untuk internet, sinyal untuk menelpon pun adalah hal yang langka di tempat ini. Nampaknya memang kami semua perlu beristirahat dari media sosial dan segala kegaduhan tentang ibukota terutama menjelang pilkada. Momen seperti ini sekali-sekali diperlukan, memandangi Jakarta dalam sunyi tanpa sinyal sambil meresapi "love-hate relationship" kami dengan Jakarta. Segala hiruk-pikuk dan permasalahan hidup di Jakarta, tapi sampai saat ini kami masih tetap memilih untuk tinggal di sana. Sampai kapan...entahlah...
0 comments